Saturday, March 18, 2006

Adakah Film Politik Indonesia?

Pada suatu waktu, Amerika Serikat dipimpin oleh seorang presiden yang super korup. Ketika sang presiden sedang melakukan affair dengan sekretarisnya, ia terkena stroke berat, dan langsung koma.

Dave, seorang agen tenaga kerja baik hati yang kebetulan wajahnya sangat mirip dengan sang presiden, disewa oleh dua orang staf Gedung Putih untuk berperan sebagai presiden.

Rencananya, presiden aspal ini kan dibiarkan berkuasa beberapa minggu, kemudian direkayasa agar menunjuk wakil presiden baru. Kemudian, sang presiden akan "mengalami" stroke lagi, sehingga wapres yang baru itu bisa naik menggantikannya.

Hanya saja, Dave yang sangat jujur dan baik hati mengacaukan rencana itu. Kesempatan menjadi presiden aspal digunakannya untuk merubah aturan yang salah dan membuat kebijakan yang sesuai hati nurani.

Cerita selanjutnya? Silakan cari VCD atau DVD-nya. But I don't think you can find it in Indonesia. Maklum, ini film yang cukup lama (1993). Dan rasa-rasanya thema film ini tidak cukup menarik perhatian untuk dibajak.

***

Film berjudul Dave (dibintangi Kevin Kline) di atas adalah salah satu dari beberapa tema politik yang diangkat ke layar lebar dengan sentuhan komedi. Film yang senada antara lain: The Distinguised Gentleman (Eddie Murphy) dan The Head of State (Chris Rock). Selain ketiga judul tersebut, masih banyak film yang mengangkat tema politik, namun digarap ke dalam genre drama yang serius.

Yang membuat saya "terpikir-pikir lama" (meminjam istilah yang suka dipakai oleh almarhum Umar Kayam) adalah: mengapa sangat sedikit film Indonesia yang bertema politik? Di luar film-film sejarah (setengah propaganda) macam Janur Kuning dan Pemberontakan G30S/PKI, saya sulit menyebutkan satu judul film yang berbicara tentang realitas politik di Indonesia.

Mengapa demikian? Apakah karena kekurangan ide cerita? Ah, kayaknya sih enggak. Malahan, dunia politik Indonesia beserta semua tingkah laku para aktornya merupakan gudang cerita yang tak akan pernah habis untuk ditimba.

Ataukah karena tema politik merupakan tema yang dianggap "sakral", yang tabu untuk diangkat menjadi sumber inspirasi bagi sebuah karya seni pertunjukan?

Kayaknya enggak juga. Buktinya banyak drama (ingat Teater Koma-nya N. Riantiarno?), cerita ketoprak, maupun wayang yang mengangkat masalah politik tanpa sungkan. Bahkan seringkali cukup berani untuk mengolok-olok para politisi dan mengkritisi penguasa.

Ataukah, para politisi kita (di pusat maupun daerah) masih belum siap untuk melihat eksistensi mereka dijadikan bahan tontonan? Mungkin ini alasannya. Kalau melihat bagaimana sikap para politisi ketika mendapatkan kritik, ketika mengkaji cara mereka berkelit ketika terjadi kesalahan, ketika mencermati cara mereka menggunakan kekuasaan untuk mengintimidasi; boleh jadi ini yang menjadi sebab utama.

Pembuatan film merupakan kegiatan padat modal, dan setiap produser tentu saja berharap bisa mendapatkan kembali investasinya, syukur-syukur ada keuntungan dari sana. Kalau suatu tema masih dipandang beresiko tinggi untuk menimbulkan reaksi negatif, tentu penggagasnya akan berpikir sangat-sangat panjang sebelum melangkah.

Tidak ada sutradara yang mau terganggu syutingnya gara-gara dihentikan polisi atau satgas partai. Belum ada aktor atau aktris yang siap mental untuk dihujat di media massa, dikirimi sms berisi ancaman, ditelepon orang tak dikenal malam-malam, atau malah mendapat paket berisi bom. Ketika kepastian hukum masih belum terjamin, siapakah yang berani mengambil resiko?

***

Ada yang pernah bilang, bahwa seni pertunjukan (termasuk film) itu seumpama cermin. Media untuk melihat wajah sendiri. Kalau orang tidak siap untuk melihat dirinya sendiri di cermin, maka itu berarti ia merasa ada yang kurang atau salah dengan dirinya.

Apakah minimnya film Indonesia bertema politik mengindikasikan kita belum siap untuk melihat kenyataan praktek politik praktis di negara kita?

__________________________

NB: Bagi yang berminat dengan topik film dan politik, silakan tengok website Political Film Society ini.

Tuesday, March 07, 2006

Oscar vs Scorsese

Dalam upacara penyerahan piala Oscar 2006, presenter Jon Stewart melontarkan komentar ini: "Martin Scorsese ZERO, Three 6 Mafia ONE!". Three 6 Mafia adalah pemenang Oscar untuk kategori Original Song (berjudul "Its Hard Out Here For A Pimp" dalam Hustle & Flow). Mereka baru pertama masuk nominasi, dan langsung pulang mengantongi penghargaan bergengsi ini.

Sebuah ironi, memang. Sutradara sekaliber Martin Scorsese belum pernah satu kalipun memenangkan piala Oscar, sekalipun sudah masuk nominasi 6 kali (sejak tahun 1980 untuk film Raging Bull, sampai tahun 2005 untuk The Aviator).

Martin Scorsese sangat produktif. Ia menyutradari 42 film (film panjang, dokumenter, maupun program TV) sejak tahun 1959 sampai sekarang. Itu berarti, ia konsisten berkarya selama 47 tahun! Empat karya pertamanya berupa film pendek. Film panjang pertama yang disutradarinya berjudul Who's That Knocking at My Door (1967). Daftar panjang sepak terjang Scorsese bisa dilihat di situs IMDb.

Salah satu ciri khas Scorsese adalah (minimal dalam pandangan saya): ia tidak pernah membuat film "lunak". Semua film-nya bertema berat. Mulai dari Taxi Driver, Raging Bull, Goodfellas, Cape Fear, dan Casino; semua menghasilkan "dark feeling" bagi penontonnya. Salah satu film yang mengundang kontroversi sangat besar adalah The Last Tempation of Christ (1988). Scorsese sendiri pernah berkata: "Because of the movies I make, people get nervous."

Apakah karena ciri khas itu maka dewan juri Academy Award tidak pernah memilihnya? Saya tidak tahu. Semoga tahun depan Scorsese kembali masuk nominasi dan memenangkan Oscar. He deserve it!

Wednesday, March 01, 2006

Antara Novel dan Film

Salah satu sumber inspirasi cerita film adalah: buku, entah non-fiksi (karya jurnalistik, sejarah, atau biografi) maupun fiksi (novel, cerita pendek, atau cerita bersambung). Oleh karena saya juga suka membaca, maka seringkali saya menonton film yang diangkat dari buku (terutama novel) yang juga saya baca.

Kadang saya lebih dahulu membaca novelnya, dan baru kemudian menonton filmnya. Atau kebalikannya, gara-gara menonton film, saya jadi terdorong untuk membaca novelnya.

Kalau ternyata film yang diangkat dari sebuah novel itu sama bagusnya (tentu saja ini ukuran subyektif saya, lho) dengan cerita di novel aslinya, maka nggak ada masalah.

Susahnya, saya lebih sering ketemu dengan film yang saya nilai tidak bisa mewakili kualitas novelnya. Akibatnya, pulang dari nonton bukannya terhibur, tetapi malah kecewa berat.

Mungkin, ketika saya membaca sebuah novel, di benak saya tergambar sosok tokoh, setting, dan adegannya. Dan ketika apa yang sudah terbayangkan itu tidak sama dengan apa yang disajikan di dalam film, terjadilah kesenjangan imajinasi yang menimbulkan kekecewaan.

Tapi kadang, sebaliknyalah yang terjadi. Oleh karena pernah menonton suatu film, image yang ada di film itu kemudian mewarnai imajinasi saya ketika membaca novel.

Misalnya, saya sangat menyukai serial TV The X-Files. Di film seri itu, ditampilkan tokoh Assistant Director Skinner, yang menjadi atasan Mulder dan Scully. Image Pak Skinner ini begitu kuat tertempel di benak saya, sehingga ketika saya membaca tentang Assistant Director Crawford (bossnya Clarice) dalam novel The Silence of The Lamb, profil Skinner-lah yang muncul di bayangan saya.

Daftar film yang sama asyik dengan novelnya*:
  1. Jurasic Park
  2. Silence of The Lamb
  3. Hannibal
  4. Forrest Gump
  5. The General's Daughter
Daftar film yang kalah asyik dibanding novelnya*:
  1. Timeline
  2. The Chronicles of Narnia
  3. Clear and Present Danger
  4. Patriot Games
  5. Catch Me If You Can
  6. The Hunt of The Red October
  7. Harry Potter (semuanya)
  8. The Lost World
__________

* kriteria penilaian daftar di atas adalah selera pribadi saya, lho.