Tuesday, August 16, 2005

Film Cinta yang Cerdas

Baru-baru ini, saya menonton You've Got Mail lagi. Mungkin ini yang ke-5 kalinya. Kenapa sampai berulang kali? Well, film ini meramu 4 hal yang kebetulan sangat saya senangi: buku, internet, pasangan Tom Hanks-Meg Ryan, dan Nora Ephron.

Saya yakin, Anda kenal dengan Tom Hanks dan Meg Ryan. Tapi Nora Ephron, tak banyak orang yang mengenalnya, padahal dia adalah tokoh perfilman yang cukup disegani di Holywood. Ia berperan sebagai sutradara, produser, dan penulis skenario dalam beberapa film laris: When Harry Met Sally (1989), Sleepless in Seattle (1993), Michael (1996), dan yang baru saja beredar Bewitched (2005).

Kekuatan terbesar Nora adalah pada penulisan skenario, khususnya untuk genre komedi romantis. Majalah TODAY menyebutnya sebagai "Queen of romantic comedy". Saya sangat setuju dengan sebutan itu.

***

Kalau ada yang paling berkesan bagi saya dari film-film Nora Ephron, maka itu adalah: percakapan yang cerdas di antara para tokoh ceritanya. Mungkin latar belakangnya sebagai jurnalis dan penulis essay-lah yang membuatnya mampu mereka-reka percakapan yang tidak cengeng, tidak berbunga-bunga, berisi, namun tetap romantis.

Tidak percaya, coba cari film-film yang saya sebutkan di atas; kalau bisa, cari dalam format DVD (bukan yang bajakan, tentunya), supaya Anda bisa menampilkan subtitle bahasa Inggrisnya. Maka Anda pasti akan setuju dengan pendapat saya.

***

Oh, betapa saya merindukan lebih banyak lagi kisah cinta yang cerdas di dalam film dan sinetron Indonesia. Saya sudah bosan dengan dialog yang mengada-ada, yang tidak membumi, yang nyinyir dan cengengnya setengah mati. Saya tahu, tidak semua penonton memiliki selera seperti saya. Namun, saya yakin juga, banyak orang yang sependapat dengan saya.

PS: Jangan bilang siapa-siapa ... saya sudah menonton Sleepless in Seatle lebih dari 10 kali.

Sunday, August 14, 2005

Layar Tancap

Nggak tahu, deh. Apa sekarang masih ada pabrik jamu yang memutar Layar Tancap.

Di tahun 70-80an, layar tancap adalah fenonema yang mudah ditemui, terutama di kampung, di daerah yang tidak memiliki gedung bioskop. Daerah-daerah di pelosok yang hanya dijamah oleh para pekerja marketing perusahaan jamu yang memiliki jiwa adventurer sekaligus interpreneur. Mereka yang selalu siap menembus hutan, menyeberang jembatan reot, masuk ke desa terpencil. Meminjam kalimat Capt. Kirk di STAR TREK: "To boldy go to where no gedung bioskop have gone before!".

Berbeda dengan para petugas Tim Pencari Fakta kasus Bom Palu atau aktivis LSM, kedatangan tim Layar Tancap ini boleh dikatakan tidak pernah menghadapi resistensi dari penduduk lokal. Bahkan, mereka akan disambut dengan antusias. Anak-anak akan berlari dibelakang mobil promosi mereka, berebut leaflet film dan produk yang mereka sebarkan. Ibu-ibu di rumah, bapak-bapak di sawah, dan penggembala kerbau di lapangan akan memberi respon yang sama: melambaikan tangan ke arah mobil itu, sembari menata ulang agenda mereka: "Batalkan semua acara malam nanti. Layar Tancap is coming to town!"

Dan, malam harinya: Layar Tancap terbukti merupakan fenomena yang sungguh seronok. Bayangkan saja ... udara cerah walau agak dingin, tak ada mendung, bintang-bintang nampak jelas di langit. Lapangan sepak bola atau halaman balai desa yang gelap, hanya diterangi oleh lentera atau lampu petromaks dari gerobak pedagang kaki lima di pinggir lapangan: penjual bakso, kacang rebus, minuman panas, dan mainan anak-anak.

Penduduk satu desa, dan seringkali ditambah penduduk desa-desa sekitarnya, berjubel di sana. Dari manula sampai balita, terbungkus baju hangat, sweater, jaket, kain batik, sarung, atau "kamli" (selimut dari bahan kain katun putih dengan garis-garis hitam atau biru tua, seperti yang biasa dipakai di rumah sakit). Beberapa ibu memeluk dan meneteki bayi mereka, para bapak dan kakek berjongkok atau "nglesot" sambil "klepas-klepus" menghisap rokok kretek, anak-anak berebut tempat paling depan, dan para pemuda-pemudi duduk berdampingan: mencari kesempatan untuk cubit-cubitan dan senggol-senggolan dalam gelap.

Di manapun mereka duduk, mereka akan menghadap ke satu arah: benda yang akan menyedot perhatian mereka selama beberapa jam ke depan. Selembar kain putih yang dibentangkan 2 meter di atas tanah, diikat kuat dengan tali plastik pada dua bilah bambu panjang. Kain putih yang selalu bergoyang, dan kadang menggembung seperti layar perahu, ketika angin yang agak keras berhembus. Selembar kain putih mati yang akan menjadi bernyawa dan punya daya sihir, ketika sorot lampu proyektor mengenainya.

***

Orang masih sibuk ngobrol, beberapa anak masih berlarian, pemuda-pemudi masih saling lempar senyum dan lirikan, ketika slide-slide pesan pembangunan ditayangkan. Maklum, mereka sudah hafal isinya yang klise: mulai dan reboisasi sampai Keluarga Berencana; dari ajakan menanam Lamtoro Gung sampai penggunaan urea tablet. Oh, mereka sudah kenyang mendengar itu semua dalam Temu Desa, pertemuan Kelompok Tani, atau acara penyuluhan yang disampaikan petugas dari Departemen Pertanian atau Kantor BKKBN. Sekalipun klise, sekalipun tidak ada lagi orang yang memberi perhatian, toh slide-slide itu ditayangkan juga. Kita sedang membangun negeri ini, Bung! Maka apapun acaranya: pesta kawin atau jualan jamu, yang namanya Komunikasi Pembangunan harus dilakukan.

Presentasi kedua jauh lebih menarik: promosi produk jamu terbaru. Diiringi lagu dangdut yang diputar dalam volume maksimum dan beberapa orang cebol yang berjoget sambil membagi-bagi sampel, staf marketing perusahaan mulai menjelaskan khasiat setiap jamu satu persatu: menyembuhkan masuk angin, menghilangkan sakit gigi, mengatasi keputihan dan terlambat datang bulan, meredakan pegal linu, melancarkan aliran darah, dan tentu saja ... menambah vitalitas pria: "Minum jamu ini, maka Bapak-bapak akan menjadi kuat, seperti Raden Gatotkaca!"

Setelah lima-belasan menit promosi berlangsung, setelah semua produk dibahas satu persatu dengan detil dan bombastis, setelah orang mulai bosan melihat joget orang-orang cebol, dan setelah beberapa pemuda berteriak: "Ayo, putar filmnya!"; maka sang petugas marketing pun mengucapkan the magic words: "Mohon para penonton tenang. Film segera diputar. Dan selama pemutaran film, kami akan siap melayani bapak ibu yang ingin merasakan khasiat jamu produk perusahaan kami. Silakan datang ke mobil promosi, bapak ibu bisa langsung minum jamu yang kami siapkan di sana."

Semua penonton mendadak menjadi tenang ... tiba-tiba saja, suara jengkerik bisa terdengar. Tak ada yang bersuara, kecuali bunyi proses pemasangan roll seluloid ke proyektor. Tanpa sadar, jantung para penonton berdebar sedikit lebih kencang; mungkin beberapa anak menahan nafasnya. Dan akhirnya ... film dimulai! Penonton bertepuk tangan!

***

Dua jam kemudian ... semua penjahat sudah dikalahkan; Barry Prima menunggang kuda dan melambaikan tangan; Eva Arnaz, dengan baju yang sobek di sana-sini (tuntutan skenario untuk memamerkan kulitnya yang putih), menitikkan air mata melihat sang pahlawan harus pergi. Lampu proyektor pun padam. Penonton menghela nafas lega.

Tidak ada batasan umur, tidak ada sensor. Semua penduduk, dari manula sampai balita, menonton film yang biasanya ber-rating 17 tahun ke atas. Layar Tancap, tontonan rakyat yang demokratis ... dan gratis!

***

Nggak tahu, deh. Apa sekarang masih ada pabrik jamu yang memutar Layar Tancap.

Kini kita tinggal di masa yang kaya dengan hiburan dan tontonan; di mana hampir setiap rumah memiliki pesawat TV. Ada 10 stasiun TV swasta berebut perhatian dan iklan (dan TVRI kedodoran berlari di belakang mereka). Dengan membayar 15 ribu rupiah, orang bisa menyewa VCD player berikut 10 film (film porno-nya juga ada, lho) untuk semalam suntuk. Rental video game dan playstation menjamur di mana-mana, dan tiap malam minggu ada acara wayang kulit atau wayang golek sampai pagi di Indosiar.

Adakah perusahaan jamu yang masih memiliki mobil dan kru Layar Tancap? Yang siap pergi di setiap akhir pekan: menembus hutan, menyeberang jembatan reot, masuk ke desa terpencil. To boldy go to where no new media have gone before?